Panen Jerawat
By : Marisa Umami
By : Marisa Umami
Dita lagi bahagia banget hari ini. Akhirnya, Jay, gebetannya, mengajaknya kencan. Well, bukan kencan dalam arti sungguhan, sih. Jay mengajaknya menghadiri acara keluarganya yang akan merayakan panen pertama usaha hortikulturanya hari minggu besok.
“Ciee..ada yang lagi seneng, nih?” Komentar Lia melihat Dita yang dari tadi senyum- senyum sendiri.
“Iya, dong…Akhirnya, dia ngajak jalan juga. Padahal, rencananya aku yang mau nekat ngajakin dia nonton.”
Sepanjang Bu Hilda menjelaskan tentang Hukum Thermodinamika, Dita terus- terusan tersenyum. Pikirannya terbang melayang ke kelas sebelah, kelas pujaan hatinya.
“Eh, jadi kamu mau dikenalin sama keluarganya gitu dong, ya?” Diana menyikut tangan Dita yang tengah mencorat- coret halaman buku tulisnya.
Dita mengangkat bahu, “Ya, gitu, deh.”
“Ih, itu di pipi kanan kamu apaan? Jerawat, ya?”
Dita tersentak kaget. Jerawat??? Wah…
Saat istirahat tiba, Jay menghampiri Dita di kelasnya. Yang lain langsung menyoraki dan disambut senyum malu- malu dari keduanya.
“Pipi kamu kenapa? Luka?” Tanya Jay menunjuk pipi kanan Dita yang ditempeli hansaplast warna ungu bermotif polkadot.
“Di pipi Dita ada je….” Dengan sigap Dita membungkam mulut Diana.
“Nggak papa. Cuma buat gaya- gayaan aja.” Kata Dita tak lupa dibarengi dengan senyuman manis.
Jay tampak mengangguk paham. “Jadi, besok aku jemput jam delapan, ya?”
Dita mengangguk dan mengangkat jempol kanannya,”Siiipp..”
@@@
“Terus aku mesti gimana, dong?” Keluh Dita pada Diana via telepon.
“Buruan obatin, deh. Ntar malah tambah banyak lho.”
“Iiihhh…aku nggak mau. Masa mau ketemu camer muka jerawatan gini? Hehehe…”
“Gini, deh. Kamu coba cari di warung sana. Bilang aja cari obat jerawat.” Saran Diana.
“Ya udah, deh. Thanks, ya.” Dita menutup telepon lalu memandang wajahnya di cermin. Disentuhnya tonjolan kecil berwarna merah meradang di pipi kanannya.
Terpikir saran Diana di telepon tadi, Dita bergegas menuju Toserba yang tak jauh dari rumahnya.
“Cari apa, mbak?” Tanya si penjaga toko.
“Mmm, mau cari obat jerawat, ada?” Kata Dita malu- malu.
Si penjaga toko tampak sibuk memperhatikan rak bagian kosmetik yang tak jauh dari jangkauannya. Diraihnya sebuah botol kecil. Dibacanya sejenak lalu diberikannya pada Dita.
Dita menerima botol obat jerawat itu dan membaca merknya. Dia belum pernah mendengar merk obat jerawat itu sebelumnya. Sedikit ragu dia bertanya pada si penjaga toko. “Ini ampuh nggak?”
“Jelas dong. Obat ini fungsinya untuk mengatasi jerawat dan mencegahnya datang kembali. Dijamin manjur, deh.” Kata si penjaga toko dengan gaya meyakinkan.
Akhirnya Dita pulang ke rumah dengan sebotol obat jerawat di tangannya. Sampai di rumah, segera dipakainya obat tersebut.
“Nah, sekarang beres. Besok tinggal bangun pagi- pagi, tunggu jemputan, berangkat, deh.”
@@@
Esok paginya Dita bangun pagi- pagi dan mandi. Saat hendak berdandan…
“Huaaaaaaaaaaaaa…………” Jeritan Dita menggelegar bagaikan petir di pagi hari.
“Ada apa, sih, Dit? Pagi- pagi, kok sudah bikin heboh?” Seru Nenek.
Dita terpaku di depan cermin. Bagaimana mungkin dia bisa pergi menemui keluarga Jay dengan wajah seperti ini. Kali ini, bukan Cuma satu tonjolan kemerahan yang ada di pipi kanannya. Hampir di semua bagian kulit wajahnya penuh dengan jerawat.
Diraihnya botol obat jerawat yang dipakainya semalam. Dibacanya betul- betul petunjuk pemakaiannya. Ternyata, sebelum digunakan, harus dilakukan tes alergi terlebih dahulu dengan mengoleskannya di punggung tangan. Jika terjadi reaksi alergi, maka tidak boleh digunakan pada kulit wajah. Dita menyesali dirinya sendiri. Kenapa dia tidak membaca petunjuknya betul- betul sebelum menggunakan obat itu.
Jam meja menunjukkan jam setengah delapan. Dita mengambil HPnya dari atas meja belajar. Tangannya sibuk memencet keypad.
“Halo…” Suara Jay terdengar dari seberang telepon.
“Ngg…kayaknya…aku…nggak bisa pergi, deh.” Suara Dita tampak terbata- bata.
“Lho, kenapa?” Tanya Jay kaget.
“Pokoknya aku nggak bisa.”
“Kemarin kamu bilang Oke. Kok, tiba- tiba nggak jadi gini, sih?”
“Maaf, deh, maaf. Lain kali aja kita perginya.”
“Waduh…padahal aku lagi on the way ke rumah kamu, nih. Bentar lagi nyampe.”
Dita reflex mengakhiri panggilannya. Gawat!!! Dita mondar- mandir di kamarnya. Nggak mungkin dia bisa bertemu Jay dengan kondisinya yang berantakan seperti ini. Dita malu sekali. Berulang- ulang dia mengutuk dirinya karena dengan lugunya menerima begitu saja saran dari Diana dan juga penjaga toko. Andai saja dia cukup percaya diri, kejadian ini nggak mungkin terjadi. Tinggal ditempel hansaplast seperti kemaren juga jadi.
Sepuluh menit kemudian.
“Ditaaa…ada teman yang nyari, nih?” Teriak Nenek dari ruang tamu.
Dita semakin gelisah. Dia duduk di ujung ranjang, berdiri, dan duduk kembali. Begitu terus berulang- ulang. Tak lama Nenek masuk ke kamarnya.
“Kamu kenapa, Dit?” Tanya Nenek lembut.
Dita memandang wajah Neneknya yang keriput. Rasanya dia ingin menangis. Melihat wajah kusut Dita, Nenek menghampirinya.
“Muka kamu kenapa?”
Dita menggeleng pelan. Perlahan air mata menetes di pipinya.
“Lho, kok malah nangis?” Nenek membelai rambut cucunya yang panjang. Dita menghambur ke dalam pelukan Nenek. “Teman kamu sudah nunggu tuh di luar.”
“Tapi Dita malu, Nek. Masa Dita keluar dengan muka kayak gini?” Kata Dita di sela isak tangisnya.
“Kenapa mesti malu? Kamu tetep manis, kok.” Tiba- tiba Jay muncul di depan pintu kamarnya lengkap dengan senyum paling manis yang dimilikinya.
“Tapi, kan aku malu ketemu keluarga kamu dengan muka begini.” Dita melepaskan pelukan Nenek. Tak mungkin lagi dia menyembunyikan jerawat- jerawatnya dari Jay.
“Kalau gitu, kita nonton aja.”
“Lho, terus panennya gimana?”
“Nggak ada aku juga bakal tetap panen, kok. Lagian, kan di sini juga sudah ada panen.”
“Maksudnya?” Tanya Dita bingung.
“Iya. Panen jerawat, hehehe..”
Dita langsung mengambil bantal dan menimpuk Jay.
@@@
NB : Cerita ini hanya fiktif belaka, kalo pun ada kesamaan tokoh dan tempat itu merupakan kesengajaan, biar tambah idup+lucu..