Sabtu, 26 Februari 2011

CerPen


Panen Jerawat

                                                                  By : Marisa Umami

Dita lagi bahagia banget hari ini. Akhirnya, Jay, gebetannya, mengajaknya kencan. Well, bukan kencan dalam arti sungguhan, sih. Jay mengajaknya menghadiri acara keluarganya yang akan merayakan panen pertama usaha hortikulturanya hari minggu besok.
“Ciee..ada yang lagi seneng, nih?” Komentar Lia melihat Dita yang dari tadi senyum- senyum sendiri.
“Iya, dong…Akhirnya, dia ngajak jalan juga. Padahal, rencananya aku yang mau nekat ngajakin dia nonton.”
Sepanjang Bu Hilda menjelaskan tentang Hukum Thermodinamika, Dita terus- terusan tersenyum. Pikirannya terbang melayang ke kelas sebelah, kelas pujaan hatinya.
“Eh, jadi kamu mau dikenalin sama keluarganya gitu dong, ya?” Diana menyikut tangan Dita yang tengah mencorat- coret halaman buku tulisnya.
Dita mengangkat bahu, “Ya, gitu, deh.”
“Ih, itu di pipi kanan kamu apaan? Jerawat, ya?”
Dita tersentak kaget. Jerawat??? Wah…
Saat istirahat tiba, Jay menghampiri Dita di kelasnya. Yang lain langsung menyoraki dan disambut senyum malu- malu dari keduanya.
“Pipi kamu kenapa? Luka?” Tanya Jay menunjuk pipi kanan Dita yang ditempeli hansaplast warna ungu bermotif polkadot.
“Di pipi Dita ada je….” Dengan sigap Dita membungkam mulut Diana.
“Nggak papa. Cuma buat gaya- gayaan aja.” Kata Dita tak lupa dibarengi dengan senyuman manis.
Jay tampak mengangguk paham. “Jadi, besok aku jemput jam delapan, ya?”
Dita mengangguk dan mengangkat jempol kanannya,”Siiipp..”
@@@
“Terus aku mesti gimana, dong?” Keluh Dita pada Diana via telepon.
“Buruan obatin, deh. Ntar malah tambah banyak lho.”
“Iiihhh…aku nggak mau. Masa mau ketemu camer muka jerawatan gini? Hehehe…
“Gini, deh. Kamu coba cari di warung sana. Bilang aja cari obat jerawat.” Saran Diana.
“Ya udah, deh. Thanks, ya.” Dita menutup telepon lalu memandang wajahnya di cermin. Disentuhnya tonjolan kecil berwarna merah meradang di pipi kanannya.
Terpikir saran Diana di telepon tadi, Dita bergegas menuju Toserba yang tak jauh dari rumahnya.
“Cari apa, mbak?” Tanya si penjaga toko.
“Mmm, mau cari obat jerawat, ada?” Kata Dita malu- malu.
Si penjaga toko tampak sibuk memperhatikan rak bagian kosmetik yang tak jauh dari jangkauannya. Diraihnya sebuah botol kecil. Dibacanya sejenak lalu diberikannya pada Dita.
Dita menerima botol obat jerawat itu dan membaca merknya. Dia belum pernah mendengar merk obat jerawat itu sebelumnya. Sedikit ragu dia bertanya pada si penjaga toko. “Ini ampuh nggak?”
“Jelas dong. Obat ini fungsinya untuk mengatasi jerawat dan mencegahnya datang kembali. Dijamin manjur, deh.” Kata si penjaga toko dengan gaya meyakinkan.
Akhirnya Dita pulang ke rumah dengan sebotol obat jerawat di tangannya. Sampai di rumah, segera dipakainya obat tersebut.
“Nah, sekarang beres. Besok tinggal bangun pagi- pagi, tunggu jemputan, berangkat, deh.”
@@@
Esok paginya Dita bangun pagi- pagi dan mandi. Saat hendak berdandan…
“Huaaaaaaaaaaaaa…………” Jeritan Dita menggelegar bagaikan petir di pagi hari.
“Ada apa, sih, Dit? Pagi- pagi, kok sudah bikin heboh?” Seru Nenek.
Dita terpaku di depan cermin. Bagaimana mungkin dia bisa pergi menemui keluarga Jay dengan wajah seperti ini. Kali ini, bukan Cuma satu tonjolan kemerahan yang ada di pipi kanannya. Hampir di semua bagian kulit wajahnya penuh dengan jerawat.
Diraihnya botol obat jerawat yang dipakainya semalam. Dibacanya betul- betul petunjuk pemakaiannya. Ternyata, sebelum digunakan, harus dilakukan tes alergi terlebih dahulu dengan mengoleskannya di punggung tangan. Jika terjadi reaksi alergi, maka tidak boleh digunakan pada kulit wajah. Dita menyesali dirinya sendiri. Kenapa dia tidak membaca petunjuknya betul- betul sebelum menggunakan obat itu.
Jam meja menunjukkan jam setengah delapan. Dita mengambil HPnya dari atas meja belajar. Tangannya sibuk memencet keypad.
“Halo…” Suara Jay terdengar dari seberang telepon.
“Ngg…kayaknya…aku…nggak bisa pergi, deh.” Suara Dita tampak terbata- bata.
“Lho, kenapa?” Tanya Jay kaget.
“Pokoknya aku nggak bisa.”
“Kemarin kamu bilang Oke. Kok, tiba- tiba nggak jadi gini, sih?”
“Maaf, deh, maaf. Lain kali aja kita perginya.”
“Waduh…padahal aku lagi on the way ke rumah kamu, nih. Bentar lagi nyampe.”
Dita reflex mengakhiri panggilannya. Gawat!!! Dita  mondar- mandir di kamarnya. Nggak mungkin dia bisa bertemu Jay dengan kondisinya yang berantakan seperti ini. Dita malu sekali. Berulang- ulang dia mengutuk dirinya karena dengan lugunya menerima begitu saja saran dari Diana dan juga penjaga toko. Andai saja dia cukup percaya diri, kejadian ini nggak mungkin terjadi. Tinggal ditempel hansaplast seperti kemaren juga jadi.
Sepuluh menit kemudian.
“Ditaaa…ada teman yang nyari, nih?” Teriak Nenek dari ruang tamu.
Dita semakin gelisah. Dia duduk di ujung ranjang, berdiri, dan duduk kembali. Begitu terus berulang- ulang. Tak lama Nenek masuk ke kamarnya.
“Kamu kenapa, Dit?” Tanya Nenek lembut.
Dita memandang wajah Neneknya yang keriput. Rasanya dia ingin menangis. Melihat wajah kusut Dita, Nenek menghampirinya.
“Muka kamu kenapa?”
Dita menggeleng pelan. Perlahan air mata menetes di pipinya.
“Lho, kok malah nangis?” Nenek membelai rambut cucunya yang panjang. Dita menghambur ke dalam pelukan Nenek. “Teman kamu sudah nunggu tuh di luar.”
“Tapi Dita malu, Nek. Masa Dita keluar dengan muka kayak gini?” Kata Dita di sela isak tangisnya.
“Kenapa mesti malu? Kamu tetep manis, kok.” Tiba- tiba Jay muncul di depan pintu kamarnya lengkap dengan senyum paling manis yang dimilikinya.
“Tapi, kan aku malu ketemu keluarga kamu dengan muka begini.” Dita melepaskan pelukan Nenek. Tak mungkin lagi dia menyembunyikan jerawat- jerawatnya dari Jay.
“Kalau gitu, kita nonton aja.”
“Lho, terus panennya gimana?”
“Nggak ada aku juga bakal tetap panen, kok. Lagian, kan di sini juga sudah ada panen.”
“Maksudnya?” Tanya Dita bingung.
“Iya. Panen jerawat, hehehe..”
Dita langsung mengambil bantal dan menimpuk Jay.

@@@

NB    :   Cerita ini hanya fiktif belaka, kalo pun ada kesamaan tokoh dan tempat itu merupakan kesengajaan, biar tambah idup+lucu..

Minggu, 20 Februari 2011

Ini ni salah satu tulisan mahasiswa kita looo...


Ketakutan Terbesarku
                                                                                                Oleh : Marisa Umami

Apa kau pernah merasa benar- benar takut? Kapan kau merasakannya? Apa saat kau berada di tengah kuburan yang sepi seorang diri? Kenapa? Apa mayat- mayat di dalam peti mati itu tiba- tiba menarik kakimu ke dalam tanah? Atau pocong- pcong berlarian ingin menggigitmu? Atau kau takut pada sesosok wanita berambut panjang, berbaju putih, dan terbang melayang- layang di antara rimbunnya pohon bamboo? Mungkin juga kau takut akan kematian. Kau takut kehidupanmu yang menyenangkan ketika kau mampu berbuat sesukamu akan berakhir tiba- tiba saat malaikat maut tanpa persetujuanmu datang dan mengambil kembali nyawamu?
Atau…suster- suster yang sibuk menyeret- nyeret pahanya di lantai dan mengejarmu dengan sebuah suntikan besar di tangannya yang membuatmu rela meninggalkan dunia ini hanya untuk menghindari makhuk tak tahu diri itu? Atau mungkin kau takut pada vampire dan drakula yang akan mencegatmu tiba- tiba di lorong- lorong sepi dan berpesta dengan darahmu yang cukup manis menurut mereka? Tapi, bukankah Edward Cullen itu terlalu tampan? Kau tentu tak akan berpura- pura tak tahu kalau dia adalah seorang vampire juga, bukan? Okelah, it just a movie. Forget it. Mungkin kau akan lebih takut lagi pada seorang kanibal. Menyeramkan sekali, ya? Tapi aku dengan jujur akan mengatakan bahwa itu semua bukanlah ketakutanku. Ketakutanmu, mungkin. Ketakutanku adalah…sebuah mimpi buruk. Ya, sebuah mimpi. Hanya mimpi.
@@@
Rasanya semua orang yang kutemui pagi ini tersenyum mengejekku dengan pandangan hina. Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja. Toh, aku baik- baik saja. Setidaknya, menurut pandangan mereka aku baik- baik saja. Aku mengabaikannya dan duduk di salah satu anak tangga di depan kelasku. Kusandarkan punggungku ke tiang tembok. Pikiranku kembali melayang- layang pada mimpiku beberapa hari belakangan ini. Dan semakin aku memikirkannya, aku menjadi bergidik sendiri.
Nadya, sahabatku langsung menghampiriku yang tercenung ketika baru saja dia menginjakkan kakinya ke kampus. Seperti biasa, senyum manisnya menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih.
“Kamu nggak enak badan, ya?” Tanyanya sambil mengeluaran sebuah kaca lipat dari dalam tasnya. Selanjutnya, dia sibuk memperhatikan pantulan wajahnya di cermin.
Aku menggeleng pelan. Namun desah napasku yang berat mengisyaratkan bahwa aku jelas- jelas dalam keadaan yang tidak enak sekarang.
“Oh, ya. Minggu kemarin Fandi ngajak aku  ke pantai.” Serunya dengan wajah sumringah. Seratus delapan puluh derajat berbeda dari raut wajahku yang seperti baru keluar dari freezer. Dingin dan beku. Aku benci nama itu. Terlebih aku benci pada pemilik nama itu. “Kamu tahu dia bilang apa?” katanya mencoba membuatku penasaran. Tapi jujur, aku memang penasaran. “Dia mau ngelamar aku.” Praaaaang…
“Maaf, ya, Wi. Aku pikir membagi kesenanganku ini akan membuat kamu sedikit terhibur.” Katanya akhirnya ketika menyadari wajahku tidak menampakkan turut bersuka cita. Terhibur??? Tentu saja aku sangat terhibur. Tapi aku rela mati sekarang demi tidak mendengar hiburan itu. Sebuah sunggingan kecil mencuat dari ujung bibirku. Nadya memelukku dengan manja. Beberapa menit kemudian kami masuk ke kelas.
Hari- hari belakangan aku tidak pernah berkonsentrasi mengikuti mata kuliah yang senantiasa menguras otakku.  Sekilas aku memalingkan wajah pada meja Nadya yang tengah tersenyum bahagia. Tega- teganya dia tersenyum begitu sementara aku tengah merana.
Sepulang kuliah, aku segera menuju parkiran dan memasukkan kunci motorku ke tempatnya. Tepat ketika aku memulai menstarter, terdengar sebuah suara baritone menyebut namaku. Kontan aku menoleh. Fandi. Ya, pacar Nadya itu melangkah mendekatiku.
“Ada apa?” tanyaku ketus.
“Aku mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong aja.” Kataku masih ketus. Dia terdiam di tempatnya berdiri. “Aku buru- buru. Mau ngomong, nggak?” Bentakku kesal.
Dengan wajah yang susah ku artikan, dia mulai membuka mulutnya. “Aku…Cuma…Wi, aku mau minta maaf…waktu itu aku benar- benar ….” Aku tak sanggup mendengar kata- kata apa yang selnajutnya keluar dari mulutnya.
Aku tercekat. Minta maaf? Hebat… kupikir dia bahkan tak akan berani menampakkan wajahnya di depanku lagi. Oke, mungkin setelah kejadian itu, kejadian yang telah berbulan- bulan itu, aku masih sanggup memamerkan wajahku ini kemana- mana. Meskipun dengan rasa malu yang teramat sangat. Tak ada yang tahu, memang. Tapi tetap saja aku merasa seolah- olah aku ini selebriti yang setiap media telah memuat berita tentang diriku itu. Dan jutaan orang telah mengetahuinya. Yah, mungkin aku sedikit berlebihan. Tapi menurutku itu bahkan kurang. Hal menakutkan itu tak cukup hanya sampai di situ.
Tanpa memperdulikan Fandi yang masih berdiri kaku, aku menjauhkan diri dari kampus dan meluncur ke jalan raya yang ramai. Aku ingin menangis sekencang- kencangnya. Namun, kelenjar air mataku ini rasanya telah dinon- aktifkan.
@@@
“Kenapa ke pantai, sih?” suara manja yang langsung kukenali sebagai suara Nadya, sahabatku itu terdengar di telingaku begitu aku memasuki sebuah toko buku. Sial. Kenapa harus ada mereka. Aku menghindarkan diri dengan menuju ke bagian buku- buku filsafat dan sastra. Dari sudut ini aku dapat melihat dengan jelas wajah Nadya dan Fandi yang saling menatap mesra. Tiba- tiba hatiku, dadaku rasanya ingin meledak dan aku memutuskan untuk meninggalkan toko buku itu.
Mataku memerah tanpa membendung air mata. Rasanya perih sekali. Apa aku cemburu? Tentu saja jawabannya ya. Setiap kali aku melihatnya, aku selalu teringat mimpiku…
Aku tengah menjerit kesakitan dengan bercucuran peluh. Di tengah rasa sakit yang luar biasa sakit itu aku melihat ibu dan semua tanteku menyemangati aku agar aku dapat bertahan. Air mataku bercampur dengan keringat dan merembes membasahi bajuku. Aku jelas bisa merasakan bahwa nyawaku sedang berada di ujung tanduk. Kutatap wajah ibuku. Senyuman mengembang di wajahnya. Tak henti- hentinya dia gumamkan doa- doa demi keselamatanku. Di depanku, seorang wanita cantik nan anggun berusaha sekuat tenaga memberi kemampuan terbaiknya untuk menolongku.
Beberapa jam kemudian suara tangis bayi memenuhi ruangan kamarku. Semua wajah menampakkan kebahagiaannya. Bergantian ayah, ibu dan tanteku menggendong bayi lucu dan menggemaskan itu. Air mata kebahagiaan mengambang di pelupuk mataku. Namun, tiba- tiba aku tersentak. Bagaimana mungkin kami semua melupakan satu hal yang paling penting atas peristiwa penting ini? Perlahan kusapu air mataku. Badanku bergetar hebat. Aku merasa bahwa nyeri yang tadi kurasakan kembali menjalar di seluruh sendi- sendi tubuhku. Aku sungguh- sungguh ingin terbangun dari mimpi ini. Mengapa tak seorang pun datang dan menghentikan semua ini? Bagaimana semua orang bisa melupakan satu sosok yang seharusnya hadir dan menemaniku? Oh…tidak…aku ingin bangun….! Seseorang tolong bangunkan aku.
            Kemudian semua terdiam. Ayah menatapku tajam. Jelas terpancar wajah penuh amarah. Aku menggeleng pelan dan terisak. Siapa yang akan mengazankan anakku? Begitu arti tatapannya itu. Kenapa semua orang baru menyadarinya? Oh, tuhan…aku lebih baik mati saja.
@@@
            Sebuah gundukan tanah masih merah dan basah. Berbagai bunga- bungaan menyebarkan aroma yang semerbak di atasnya. Berduyun- duyun orang pergi menjauh meninggalkan aku sendiri. Dua sosok yang begitu kukenal tengah berpelukan dan terisak. Fandi dan Nadya. Pasangan yang serasi sekali. Aku bisa menebak apa yang ada di pikiran Fandi saat ini. Tentu saja dia sangat lega. Karena rencananya melamar Nadya tak akan terhalang oleh perutku yang akan membesar beberapa bulan ke depan. Dan sepertinya ketakutan akan mendapat mimpi dimana aku akan menagih pertanggung jawaban darinya  juga terlintas di benaknya.
Aku mencibir dari balik batu nisanku. Ya, batu nisanku. Aku memutuskan untuk mengakhiri ketakutanku dengan mengiris pergelangan tanganku sendiri. Sebuah pesan pendek kutinggalkan di selembar  kertas memo yang lalu kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidurku. Aku meminta agar mayatku tidak diotopsi. Begitulah inti pesanku itu. Aku tak mau membuat keluargaku, terutama ayah ibuku, terkejut dan menanggung malu begitu mengetahui bahwa aku tengah hamil dan menyertakan beberapa butir pil penggugur kandungan bersama makan malamku. Setidaknya hingga detik ini mereka menuruti pesan terakhirku itu. Entah sampai kapan mereka sanggup menahan rasa penasaran akan penyebab kematianku sebenarnya. Yang jelas, sekarang aku telah bangun dari mimpiku. Aku telah bebas dari ketakutan terbesarku itu. Ketakutanku, jika mimpi burukku itu akan menjadi kenyataan. Dan memang akan menjadi nyata jika aku tidak cukup berani memutuskan mengakhiri hidupku semalam.
Fandi untuk kesekian kalinya menghapus air mata Nadya yang sesenggukan. Aku benci sekali. Tapi, bukankah aku ini sahabat yang baik sekali? Aku rela mengorbankan nyawaku dan janinku demi sahabatku itu. Ah, Nadya, betapa beruntungnya kamu memiliki sahabat sepertiku.
Satu ketakutanku telah terlepas. Tapi aku baru menyadari ada ketakutan lain yang muncul. Aku takut pada Tuhan. Takut sekali. Tapi apa yang bisa kulakukan dengan gelar baruku sekarang ini, Almarhumah Dewi Puspita?



# Ditunggu coment nya ya teman teman.......